14 Aug 2025
WIB
Berita Pemerintahan

Jakarta - Belum lama ini saya menonton sebuah film dokumenter berjudul The Great Hack yang pertama kali tayang di Netflix pada 2019. Film yang disutradarai oleh Karim Amer dan Jehane Noujaim tersebut menceritakan perjalanan seorang asisten profesor Amerika bernama David Carroll yang menggugat Cambridge Analytica (CA), sebuah firma konsultan politik, atas penyalahgunaan data media sosial. CA disebut menggunakan puluhan juta data Facebook untuk menganalisis perilaku politik pemilih di Amerika dan beberapa negara lain.
Carroll mengawalinya dengan pertanyaan sederhana, "Can I see the data you have on me?" Sebagai pengguna media sosial, Carroll merasa berhak untuk mengetahui apa saja informasi yang didapat dari akunnya. Ia menggugat CA ke pengadilan tinggi Inggris menggunakan Undang-Undang Perlindungan Data yang berlaku di negara tersebut.

Dalam film tersebut ditunjukkan bagaimana CA menggunakan data sekecil apapun sebagai bahan analisisnya. Mereka mengambil informasi dari foto yang diunggah, jejaring pertemanan, hobi, pasangan, likes, dan data-data lain yang mungkin bagi sebagian besar orang tidak penting-penting amat. CA mengklaim memiliki 5000 titik data dari setiap pengguna media sosial. Ternyata data-data itu bisa dibaca dan dianalisis untuk menggambarkan situasi masyarakat. Analisis tersebut kemudian digunakan sebagai bahan untuk merancang sebuah kampanye politik.

Hasilnya Donald Trump, cameo pilpres di Amerika, bisa mengungguli Hillary Clinton, seorang politisi ulung yang digadang-gadang menjadi presiden perempuan pertama di Negeri Paman Sam. Hillary dikalahkan melalui kampanye Trump yang sangat ugal-ugalan. Mereka mengekspose sosok Hillary Clinton dengan informasi yang belum tentu benar, menakut-nakuti pemilih Amerika dengan isu serbuan imigran dari Meksiko dan Timur Tengah, dan menyebut Hillary Clinton sebagai ancaman bagi Amerika. Karenanya, Trump adalah sosok yang tepat untuk membuat Amerika kembali digdaya. Mereka membuat jargon make Amerika great again.

Kampanye Donald Trump memproduksi 5.9 juta visual ads. Hal ini jauh mengungguli kampanye Hillary yang hanya 66 ribu saja. Oleh pengamat politik, strategi kampanye Trump disebut sebagai firehouse of falsehood, sebuah teknik propaganda dalam jumlah besar secara cepat, berulang-ulang, dan tanpa henti di berbagai media tanpa mempedulikan kebenaran atau kepastiannya. Ternyata, berhasil!

Selain Pilpres Amerika (2016), CA merupakan konsultan dalam kampanye pro-Brexit di Inggris (2016), kampanye 'Do So!' di Trinidad dan Tobago yang membangkitkan apatisme politik anak muda (2010), dan berbagai dugaan lainnya, termasuk dalam Pilpres Indonesia. (FL/RED)

 

SUMBER : DETIK.COM - KEMENKOMINFO RI

 

Share: