11 Oct 2025
WIB
Berita Pemerintahan
Sumber dokumentasi gowork, Kompasiana, konsultan psikologi Jakarta (2025).

SERANG – Memimpin tim lintas generasi bukan sekadar memberikan pengalaman, melakukan transfer pengetahuan, atau membagi tugas dan fungsi (tupoksi) pekerjaan. Lebih dari itu, kepemimpinan lintas generasi menekankan pada penyamaan persepsi, frekuensi, serta visi dan misi dalam melaksanakan proyek atau pekerjaan.

Generasi Milenial dan Gen Z kini menjadi dua kelompok dominan di dunia kerja, masing-masing memiliki karakter, ekspektasi, dan motivasi yang beragam.

Sebagai pemimpin—baik seorang business owner, HR leader, kepala bagian, maupun kepala program studi—penting untuk memahami latar belakang dan perbedaan kedua generasi ini. Dengan demikian, strategi kepemimpinan dapat disusun lebih awal untuk membangun tim yang loyal, adaptif, dan berdampak positif terhadap hasil kerja.

Lalu, bagaimana formula atau strategi efektif dalam memimpin karyawan milenial dan Gen Z di era digital saat ini?

Berikut beberapa aspek yang perlu dipahami seorang pemimpin lintas generasi:

1.Gaya Kerja

Generasi Milenial (lahir 1981–1996) cenderung menonjolkan kolaborasi, menyukai kerja tim, serta membutuhkan makna dan tujuan dalam bekerja.

Sementara itu, Gen Z (lahir 1997–2012) lebih mandiri, fleksibel, dan merupakan digital native—generasi yang lahir dan tumbuh bersama teknologi digital seperti internet, ponsel pintar, dan media sosial.

2.Gaya Komunikasi

Milenial umumnya menyukai komunikasi lewat chat atau video call singkat yang penuh empati dan koneksi emosional.

Sedangkan Gen Z lebih memilih komunikasi yang cepat, jujur, dan langsung (to the point).

3.Nilai yang Dihargai

Milenial menghargai perkembangan karier, fleksibilitas, dan kontribusi nyata.

Sementara Gen Z lebih menekankan kesejahteraan emosional, keberagaman, dan lingkungan kerja yang aman (safe space).

4.Pemicu Stres di Dunia Kerja

Milenial cenderung kurang percaya diri, bekerja monoton, dan jarang menerima umpan balik.

Bagi Gen Z, lingkungan kerja yang toxic atau tanpa tujuan jelas menjadi pemicu stres utama.

5.Pemicu Hilangnya Kepercayaan dan Kolaborasi

Milenial mudah kehilangan kepercayaan ketika komunikasi hanya satu arah dan minim umpan balik.

Sedangkan Gen Z cenderung kehilangan kepercayaan ketika kurangnya transparansi atau relevansi nilai pribadi dengan nilai perusahaan.

Setelah memahami perbedaan tersebut, pemimpin perlu menyusun formula dan sistem dukungan yang efektif untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan kolaborasi inovatif lintas generasi.

Bagi Milenial, berikan feedback rutin dari pimpinan dan pastikan mereka terhubung dengan purpose (tujuan) pekerjaan.

Sementara untuk Gen Z, sediakan ruang yang aman, fleksibel, transparan, serta berikan makna kerja yang jelas dan tidak ambigu.

Merujuk pada artikel di GoWork, Kompasiana, dan Konsultan Psikologi Jakarta (2025), Farida Ariyani Kangiden, Fasilitator Pendidikan Keluarga dan PAUD HI Dirjen PAUDNI Kemdikbudristek RI sekaligus Pelatih Ahli/FSP PSP Kemdikbudristek RI, menilai bahwa seorang pemimpin harus memiliki karakter dan sikap bijak dalam bertindak serta menyampaikan ide atau gagasan.

Menurutnya, sikap bijak harus melekat pada figur seorang pemimpin karena selain berperan sebagai fasilitator dan mentor, pemimpin juga menjadi pengambil keputusan. Ia menegaskan, sikap bijak pemimpin dapat menumbuhkan rasa percaya dan memberikan otonomi bagi karyawan dan staf.

“Di era Milenial dan Gen Z, saya menyadari bahwa memimpin mereka bukan tentang mengubah generasinya, melainkan mengubah paradigma kepemimpinan kita,” ujar Farida.

Farida—akrab disapa Bu Far—menambahkan bahwa kunci utama membangun sinergi lintas generasi adalah dengan menghapus pola pikir hierarkis dari atas ke bawah (command and control), di mana keputusan dibuat di puncak tanpa banyak melibatkan pihak pelaksana.

“Sistem seperti itu berakar dari era industri. Sementara generasi kini tumbuh dalam budaya transparansi dan kecepatan informasi. Mereka tidak loyal pada hierarki yang kaku, melainkan pada visi yang jelas dan nilai yang autentik,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tantangan terbesar pemimpin lintas generasi adalah menjembatani kebutuhan akan stabilitas (yang dihargai generasi tua) dengan kebutuhan akan tujuan dan pengembangan diri (yang dicari generasi muda). Oleh karena itu, penting menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, di mana pengalaman tidak menekan inovasi.

“Kepemimpinan terbaik adalah kepemimpinan adaptif: mampu berbicara dalam bahasa chat maupun dalam pertemuan formal. Dengan mengedepankan transparansi, empati, dan pengembangan karier berkelanjutan, kita tidak hanya mempertahankan talenta muda yang unggul, tetapi juga memastikan keberlanjutan dan relevansi organisasi di masa depan,” ujarnya.

Sementara itu, Elenita Drihestyawati, praktisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), menilai bahwa generasi Milenial dan Gen Z merupakan “generasi instan” yang terbiasa memperoleh apa pun dengan cepat.

Menurutnya, hal tersebut memengaruhi pola pikir dan cara kerja mereka yang cenderung ingin serba cepat. Karena itu, pendekatan persuasif menjadi kunci dalam memimpin dua generasi ini.

“Kedekatan emosional yang mereka rasakan dapat menjadi modal bagi pemimpin untuk mengakselerasi program-program agar lebih tepat sasaran,” kata Elenita.

Ia menambahkan, rasa nyaman yang tercipta akan membuat mereka betah dan terdorong untuk mengeksplorasi potensi diri.

“Kenyamanan itu membuat mereka lebih bertahan dan mampu memaksimalkan etos kerja,” imbuhnya. (HS/RED)

 

Penulis artikel : Benies Husaeni

Share: