26 Sep 2025
WIB
Berita Pemerintahan

Serang,- dikutif dari Kompasiana, Media Sosial atau Dunia Maya bagaikan pisau bermata dua, Ia bisa menjadi ruang untuk mengekspresikan diri, belajar, dan menjalin persahabatan. Namun, di sisi lain, ia juga dapat berubah menjadi arena yang kejam ketika digunakan untuk merundung, menyebar fitnah, bahkan menghancurkan kehidupan seseorang.

Film yang diproduksi oleh DL Entertainment yang syutingnya dimulai awal April 2025 lalu. Seluruh proses produksinya dilakukan di Makassar, Sulawesi Selatan dengan arahan Rusmin Nuryadin selaku sutradara.

Film bertajuk Cyberbullying ini merupakan film ketiga dari DL Entertainment setelah merilis Pulang Tak Harus Rumah dan Keluar Main. Film ini akan mengangkat kisah perundungan digital yang dialami remaja di sekolah dan menekankan pentingnya pendidikan karakter yang menyoroti perjalanan seorang remaja bernama Neira.

Namun, film ini tidak berhenti pada sisi kelam saja. Dari titik terendah hidup Neira, penonton diajak melihat bagaimana dukungan keluarga, sahabat, dan cara menggunakan teknologi secara bijak dapat menjadi kunci pemulihan.

Dalam resensi ini, mari kita telusuri bagaimana Cyberbullying menggambarkan luka digital sekaligus menyalakan harapan baru.

Luka yang Membekas
Neira digambarkan sebagai sosok remaja yang rapuh setelah dihantam badai komentar negatif dan ejekan di dunia maya. Ia bukan hanya dihina, tetapi juga diperlakukan sebagai bahan tontonan oleh orang-orang yang tidak mengenalnya secara pribadi. Depresi yang dialaminya bukan sekadar kesedihan sesaat, melainkan kondisi serius yang membuatnya enggan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Ketika harus pindah sekolah demi menghindari tekanan yang semakin kuat, Neira tinggal bersama kakeknya, H. Mansyur, dan tantenya, Rani. Kehadiran keluarga ini penting, karena mereka tidak hanya menjadi tempat berlindung, tetapi juga bagian dari proses pemulihannya. Film ini dengan jeli menyoroti bagaimana lingkungan keluarga dapat berperan sebagai pelindung sekaligus penyembuh bagi korban perundungan.

Menariknya, film ini tidak menyederhanakan konflik hanya pada korban dan pelaku. Tantenya, Rani, ternyata juga menyimpan luka masa lalu terkait hubungan dengan mama Neira. Sebagai seorang guru les spelling bee, Rani pernah merasakan kekecewaan mendalam akibat perlakuan mama Neira yang kurang menghargai dirinya. Luka lama itu membuat Rani menghadapi dilema ketika harus mendampingi Neira.

Pesan sederhana namun kuat ini membuat film Cyberbullying relevan untuk semua kalangan, khususnya generasi muda yang sehari-hari bersentuhan dengan gadget.

Film Cyberbullying tidak hanya bercerita, tetapi juga mengajak penonton untuk berefleksi. Pesan moral yang muncul sangat jelas: dunia maya harus diperlakukan dengan bijak. Apa yang kita tulis, bagikan, dan komentari memiliki dampak nyata bagi kehidupan orang lain. Satu komentar kasar bisa meninggalkan luka dalam, sementara satu dukungan tulus bisa menjadi cahaya penyembuhan.

Selain itu, film ini mengingatkan bahwa peran keluarga sangat penting dalam mendampingi anak menghadapi masalah digital. Orang tua, kakek-nenek, bahkan saudara kandung dapat menjadi support system yang membantu korban bangkit kembali. Di sisi lain, generasi muda juga diajak untuk kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan digital.

Mengapa film ini penting untuk ditonton? Karena fenomena cyberbullying bukan lagi hal asing. Banyak kasus nyata menunjukkan bagaimana anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa terjebak dalam depresi akibat perundungan digital. Indonesia sendiri tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat penggunaan media sosial tertinggi di dunia, sehingga risiko perundungan maya semakin besar.(ram/red)
Sumber : kompasiana.com

Share: